Rabu, 07 Desember 2011

teori - teori pers





. Keempat teori pers tersebut sebagai berikut:


a. Teori pers otoritarian
Menurut pendapat Mc. Quail, dalam teori pers otoritarian disebutkan prinsip-prinsip dasar pelaksanaan sebagai berikut:
1) Media selamanya (akhirnya) harus tunduk kepada penguasa yang ada.
2) Penyensoran dapat dibenarkan.
3) Kecaman terhadap penguasa atau terhadap penyimpangan dari kebijakan resmi tidak dapat diterima.
4) Wartawan tidak mempunyai kebebasan di dalam organisasinya.

b. Teori pers libertarian
Sesuai dengan ajaran demokrasi, manusia memiliki hak alamiah untuk mengejar kebenaran yang hakiki dan memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, secara lisan dan tulisan (pers) tanpa control dari pemerintah (pihak luar). Maka teori libertarian berpendapat bahwa pers harus memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran hakiki tersebut. Salah satu caranya melaiui pers. Menurut teori ini, pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menentukan sikap kebijakan pemerintah karena ia bukanlah alat kekuasan pemerintah, sehingga harus bebas dari pengaruh dan pengawasan pemerintah. Dengan demikian teori ini memandang sensor merupakan tindakan yang inkonstitusional terhadap kemerdekaan pers.
Menurut Krisna Harahap pers libertarian mempunyai tugas:
1) Melayani kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan).
2) Melayani kebutuhan kehidupan politik.
3) Mencari keuntungan (demi kelansungan hidupnya).
4) Menjaga hak warga negara.
5) Memberi biburan.
Selanjutnya Krisna Harahap menyebutkan ciri pers yang merdeka (libertarian) yaitu:
1) Publikasi bebas dari tiap penyensoran pendahuluan.
2) Penerbitan dan pendistribusian terbuka bagi setiap orang tanpa memerlukan izin atau lisensi.
3) Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik tidak dapat dipidana.
4) Tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
5) Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
6) Tidak ada batasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
7) Wartawan mempunyai otonomi profesional dalam organisasi mereka.

c. Teori tanggung jawab sosial
Menurut Krisna Harahap prinsip utama teori tanggung jawab sosial yaitu:
1) Media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat.
2) Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau professional.
3) Dalam menerima dan menerapkan kewajiban, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
4) Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.
5) Media hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan.
6) Masyarakat diberi kesempatan sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
7) Masyarakat memiliki, mengharapkan standar prestasi yang tinggi, dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Mengenai kebebasan pers, Komisi Kemerdekaan Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers harus diberi arti:
1) Bahwa kebebasan tidaklah berarti bebas untuk melanggar kepentingan individu yang lain.
2) Bahwa kekebasan harus memperhatikan segi-segi keamanan negara.
3) Bahwa pelanggaran terhadap kemerdekaan pers membawa konsekuensi/ tanggung jawab terhadap ukuran yang berlaku.
Menurut teori tanggung jawab sosial, pembatasan terhadap kemerdekaan pers justru perlu diadakan untuk melindungi kehormatan dan nama baik individu/kelompok melindungi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, dan melindungi ketertiban serta keamanan baik yang datang dari dalam (subversi) maupun yang datang dari luar (agresi).
Perlunya pembatasan pers dimaksudkan untuk kepentingan keamanan sosial, ketertiban umum, memelihara persahabatan antarnegara, melindungi agama yang dianut oleh masyarakat, melindungi ras/golongan suku bangsa, melindungi orang/masyarakat, dan melindungi hak-hak peradilan terhadap contempt of count atau pengkhianatan/ pendiskreditan pengadilan.
d. Teori pers komunis
Ciri-ciri teori pers komunis ini yaitu:
1) Media berada di bawah pengendalian kelas pekerja, karenanya ia melayani kepentingan kelas tersebut.
2) Media tidak dimiliki secara pribadi.
3) Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukunl lainnya untuk mencegah atau menghukum setelah terjadinya peristiwa publikasi anti masyarakat

peran sistem pers


Peranan Pers Untuk Kedepan
Dalam kebebasan pers atau kemerdekaan informasi menurut jalan fikiran Karl Kraus itu tidak boleh dibatasi oleh wilayah kekuasaan Negara. Ia bebas melintasi batas-batas kedaulatan semua Negara (frontier) tanpa hambatan politik, ekonomi, social, budaya dan sistem hukum di masing-masing Negara, khususnya yang mengakui kebijakan imprimatur. Dewasa ini warisan pemikiran Kraus tersebut, seakan-akan terus hidup dan berkembang, kian menjadi wacana demokrasi dan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi. Semua itu sudah menjadi sebuah HAM di seluruh Negara, sehingga dapat menjadi bagian penting dari system hukum, konstitusi dan kehidupan politik dalam masyarakat. 
          

Di Indonesia, misalnya ada pasal 28 UUD 1945 yang telah diamandemenkan sedemikian rupa, sehingga kebebasan informasi dan atau kemerdekaan pers serta kemerdekaan politik untuk mendapatkan kepada sumber-sumber informasi yang diperlukan secara konstitusional sudah terjamin.
Implementasi pasal 28 UUD 1945, mengandung penafsiran bahwa yang diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945 adalah undang-undang yang menetapkan kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Dilain pihak muncul penafsiran yang menyatakan bahwa pasal 28 UUD 1945 itu bukan untuk menetapkan kebebasan pers tetapi justru mengatur peraturan perundang-undangan apa saja yang harus diciptakan dalam rangka mengatur selebar apa ruang lingkup kebebasan pers yang terutama dikehendaki oleh pemerintah. Disamping peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan iplementasi kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan tulisan seperti ditetapkan oleh pasal 28 UUD 1945 yang tertuang juga dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Kode Etik Perusahaan Pers serta Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
Kendati UUD 1945 menjamin adanya kebebasan di Indonesia tidaklah berarti bahwa kebebasan yang dianut itu tanpa batas. Batasan tersebut sekaligus mengatur sejauhmana tanggung jawab pers Indonesia. Kalimat ditetapkan dengan Undang Undang yang tertera dalam pasal 28 UUD 1945 memberi peluang kepada pembuat undang-undang untuk menjadikannya sebagai pembatas kebebasan pers sampai tingkat nadir, seperti yang terjadi pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Sehingga untuk dapat dikategorikan sebagai pers yang sehat, pers di samping bebas harus bertanggung jawab, yakni dapat melaksanakan fungsi :
·          Melakukan kontrol sosial yang konstruktif.
·          Menyalurkan aspirasi masyarakat.
·          Meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, Dewan Pers mengklasifikasikan pers macam apa saja yang dapat dikatakan sehat, adalah:
·          Pers yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan nasional, tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah dan masyarakat.
·          Pers yang jika memuat hal-hal yang negatif tentang masyarakat atau pemerintah, tetap memperhatikan nilai-nilai kepribadian dan kebudayaan seperti menjunjung kesopanan, proporsional dan menggunakan bahasa yang tidak menusuk perasaan.
·          Tidak boleh menghasut, menghina atau menggunakan kata-kata yang mengandung insinuasi, memfitnah, mencemarkan nama pribadi seseorang, mengorbankan sensasi serta mengundang spekulasi.
Jadi yang dimaksud dengan pers yang sehat itu tidak hanya menyangkut masalah manajemen usahanya saja, akan tetapi termasuk aspek keredaksiannya. Sehingga kita harus bisa menilai dan menggunakan paradigma baru, dalam kemasan fikiran baru, supaya kebebasan pers tidak membungkam daya kreatifitas dan suara nuarani rakyat. Sebaliknya, jika kebebasan pers dibungkam serta pemerintah setara masuk dalam lingkungannya, yang secara tegas mengintervensi terhadap pers, niscaya iklim reformasi dalam pers Indonesia harapannya masih jauh untuk membangun citra pers Indonesia baru yang dilandasi kehidupan masyarakat madaniah yang penuh toleran dan selalu seiring sejalan.***
Sebagai Konstitusi tertinggi di negara kita, UUD 1945 memang tidak memuat secara khusus tentang kebebasan pers tetapi hanya mencantumkan tentang kebebasan berpendapat. Namun, penjabaran dari kalimat kebebasan berpendapat itu diatur secara khusus tentang pers dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sejak diundangkannya UU Pers pada tanggal 23 September 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887 dan dinyatakan berlaku, maka sejak itulah UU Pers dikatakan “Lex Specialis.
Untunglah angin reformasi berhembus juga pada kebebasan pers. Kehadiran UU Pers yang “Lex Specialis” mendorong demokratisasi dan penegakkan supremasi hukum. Entah sudah berapa banyak kasus, media dan insan per situ sendiri harus menempuh jalur hukum lewat pengadilan karena penghinaan atau pencemaran nama baik. Seharusnya, lewat UU Pers, kasus-kasus seperti itu harus diselesaikan melalui Dewan Pers bukan jalur pengadilan umum. Dengan menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi, maka “Lex Specialis” UU Pers menunjukkan sebuah proses demokratisasi dan penegakkan hukum, mengingat salah satu fungsi pers adalah fungsi pendidikan.
Lalu, apakah sampai saat ini kebebasan pers di Indonesia benar-benar dilindungi negara? Secara hukum formil, apalah arti sebuah Undang-Undang jika secara materiil penegakkan dan pelaksanaan UU Pers tidak dihormati aparat penegak hukum?
Sampai saat ini, kasus Raymond Horhoruw yang menggugat tujuh media di antaranya Kompas, Sindo, Suara Pembaruan, RCTI, Republika dan Detikcom karena memberitakannya sebagai tersangka perjudian , memperlihatkan lemahnya aparat penegak hukum dalam memilah instrument hukum mana yang harus dipakai. Jika ketujuh media itu dituntut perdata oleh Raymond, dan Kepolisian serta Kejaksaan sampai detik ini tetap memproses perkaranya, maka disinilah kebebasan pers dipertanyakan.
Undang-Undang pers selayaknya dijadikan pijakan dan rekomendasi hukum dalam menyelesaikan sebuah perkara yang berkaitan dengan informasi untuk publik. Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan pencemaran nama baik ataukah penghinaan ,secara yuridis formal sebagai perbuatan kriminal, tidak dapat dikaitkan dengan fungsi dan peranan pers dalam memberikan informasi kepada publik. UU Pers pengatur tentang Dewan Pers, Hak Jawab dan Hak Koreksi. Dalam kasus Raymond, apakah ketiga unsur penting dalam UU Pers ini telah dipakai kepolisian dan kejaksaan?
Albert Camus, seorang novelis pernah mengatakan bahwa kebebasan pers memang dapat baik juga buruk namun jika pers tidak ada dalam sebuah negara, maka itu lebih celaka. Dalam konsep negara modern, pers diletakan pada pilar keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Seharusnya, dalam konsep negara modern pula yang bercita-cita menegakkan negara yang berdemokrasi, kehadiran pers sangat penting dalam menjaga keseimbangan hukum, politik dan hak asasi manusia. Hal ini tentu sejalan dengan enam pokok pikiran pentingnya kemerdekaan pers, bahwa kemerdekaan pers unsur penting dalam negara demokratis, kemerdekaan pers menjamin transpransi, kemerdekaan pers mewujudkan hak asasi manusia, pers harus professional dan terbuka dikontrol masyarakat serta UU Per situ Lex Specialis.
disini pada setelah RUNTUHNYA rezim Suharto membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pekerja pers mulai memiliki akses yang begitu mudah dalam mendapatkan informasi untuk kepentingan publik. Begitu juga perusahaan pers tumbuh subur bagaikan jamur. Sayangnya, kebebasan pers tersebut belum mampu dimaknai dengan benar oleh kalangan tertentu, khususnya pejabat pemerintahan yang menjadi sumber informasi. Imbasnya, tidak sedikit pekerja pers yang menjadi korban. Lalu bagaimana pandangan Yayasan Pantau mengenai kebebasan pers Indonesia? Berikut penjelasan Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR Hamsah Umar
Lebih dari 10 tahun era reformasi,kebebasan pers di Indonesia masih berada pada jalur yang negatif. Kebebasan pers Indonesia dianggap negatif karena hanya sebatas bebas dari kontrol pemerintah. Sementara berita yang disajikan kerap kebablasan dan cenderung tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. Sejatinya pers itu harus mempertimbangkan apakah berita yang dipublikasikan itu berdampak positif atau negatif terhadap kemaslahatan masyarakat luas. Idealnya,wartawan menggunakan hati nuraninya, apakah berita yang ditulisnya itu membawa kebaikan untuk kepentingan publik atau tidak. Dampak buruk pemberitaan media Indonesia terhadap minat investor asing menanamkan modal di Indonesia. Dikatakan,investor asing terlanjur mengecap Indonesia sebagai negara yang tidak aman akibat maraknya pemberitaan kekerasan,kriminalitas maupun pornografi di Indonesia di media elektronik.

 

Foto: Vina Mubtadi/VOA
Peta kebebasan pers negara-negara di dunia. Warna hijau menunjukkan kebebasan pers sepenuhnya, warna kuning menunjukkan pers masih bebas sebagian, termasuk Indonesia, sementara warna merah menunjukkan tidak ada kebebasan pers.
Tingkat kebebasan pers Indonesia belum mengalami kemajuan, demikian menurut data terbaru yang dikeluarkan organisasi Freedom House. Indonesia menempati posisi ke-108 tahun 2010, turun sedikit dari posisi 107 setahun sebelumnya. Ini berarti pers di Indonesia belum bebas sepenuhnya, demikian kesimpulan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Newseum Washington, DC, Senin (2/5).
Para pengunjung museum berita Newseum di Washington DC menyaksikan bahwa dunia telah berubah. Perubahan itu terlihat pada peta kebebasan pers dunia selebar hampir sebelas meter yang dipasang di salah satu galeri tersebut. Peta itu menunjukkan tingkat kebebasan pers - baik media cetak, elektronik maupun internet di hampir 200 negara di dunia.
Negara yang persnya dinyatakan bebas, ditandai dengan warna hijau di peta. Negara yang persnya tidak bebas, diberi warna merah. Dan jika persnya bebas sebagian, negara itu ditandai dengan warna kuning, seperti Indonesia.

Meskipun Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, hal itu tidak tercermin pada kebebasan persnya. Menurut Freedom House, organisasi yang memantau kebebasan aliran berita dan informasi, hal itu tidak mengejutkan.
Karin Deutsch Karlekar, Periset Senior dan Managing Editor, Freedom House menjelaskan, “Kita melihat hal itu di banyak negara dimana tingkat demokrasi lebih baik daripada kebebasan persnya. Karena dalam lingkungan yang lebih demokratis, pers memiliki ruang untuk lebih berekspresi, tapi dalam banyak kasus, pemerintah berupaya menekan pers.”
Menurut Karin, pers di Indonesia dinyatakan bebas sebagian, karena masih ditemukan sejumlah kemunduran.“Di Indonesia, beberapa perkembangan yang mengkhawatirkan adalah penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap wartawan dan penduduk, penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan beberapa pembunuhan terhadap wartawan tahun lalu, suatu peristiwa yang jarang terjadi,” ujar Karin.
Karin menambahkan setiap kasus pencemaran nama baik atau fitnah yang melibatkan wartawan seharusnya diselesaikan lewat Dewan Pers Nasional dan bukannya pengadilan.
Namun, Freedom House juga mencatat sisi positif yang terjadi dalam perkembangan pers di Indonesia, salah satunya adalah media penyiaran yang semakin terbuka.
Karin mengatakan, “Banyak stasiun TV atau radio baru bermunculan di Indonesia. Kami juga melihat semakin banyak penggunaan media sosial dan new media untuk menyebarkan berita dan informasi. Itu adalah tren jangka panjang yang cukup positif.”
Karin juga menyambut baik pernyataan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa awal tahun ini yang meminta kepada semua pihak agar menghormati kebebasan pers.
Berdasarkan data tersebut, tingkat kebebasan pers di Indonesia masih lebih baik dibanding beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara yang tidak bebas seperti Thailand, Singapura, Sri Lanka, Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia.
Secara umum, Freedom House, mengatakan kawasan Asia Pasifik menunjukkan tingkat kebebasan pers yang cukup tinggi. Laporan itu menyebutkan dua pertiga negara dan wilayah di kawasan itu dinyatakan sebagai bebas atau bebas sebagian, sementara sisanya tidak bebas.
Laporan tersebut juga mengecam kemunduran kebebasan pers di Korea Selatan dan Thailand. Sementara, utusan PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue mengatakan, “Korea Selatan diturunkan statusnya oleh Freedom House menjadi bebas sebagian karena internet dibatasi, blogger dikecam. Sementara di Thailand, siapapun yang membicarakan keluarga kerajaan di internet akan menghadapi dakwaan kriminal.”

Dari hampir 200 negara yang dipantau, Freedom House menyimpulkan bahwa 35 persen dinyatakan sebagai bebas, 33 persen bebas sebagian dan 32 persen tidak bebas.
Disini kita juga dapat perhatikan dalam surat kabar REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR--Pakar Komunikasi Politik Nasional, Prof Dr Tjipta Lesmana menilai bahwa kebebasan pers di Indonesia terlalu berlebihan atau "over dosis"
"Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, kebebasan pers di Indonesia lah yang paling besar dan bahkan seolah-olah tidak memiliki batasan," ungkapnya, di Makassar, Rabu.
Bahkan, kata dia, Undang-Undang Pers di Indonesia merupakan aturan pers yang paling bebas di seluruh dunia. Ia mengatakan, kebebasan pers yang dulu diperjuangkan ternyata banyak yang disalahartikan oleh sejumlah wartawan, dan justru membuat polemik di masyarakat.
"Dari sejumlah pengalaman yang saya alami, tidak sedikit komunitas profesi yang menggugat pelaksanaan kebebasan pers, karena kurang mengedepankan tanggung jawab sosial," ungkapnya. Hal ini diperparah dengan sejumlah berita yang dibuat oleh wartawan yang tidak berdasarkan fakta, tidak akurat, tidak berimbang, dan menyerempet prinsip praduga tak bersalah.
Seharusnya, kata dia, kebebasan pers ini juga memiliki batasan seperti di beberapa negara lain, misalnya yang berkaitan dengan keamanan nasional, rahasia negara, moralitas, dan sebagainya. Menurut dia, dalam era demokrasi liberal, pers sering dikatakan sebagai pilar keempat yang memiliki kedudukan yang sama dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Bahkan, kedudukan pers seolah-olah lebih tinggi dibandingkan ketiga lembaga negara tersebut, dimana pers menjadi pengawas atas sepak terjang ketiganya," terangnya. Terkait dengan kebebasan pers di era reformasi, terdapat dua isu besar yang sangat memprihatinkan, yaitu konglomerasi pers yang semakin menggurita dan netralitas pers yang kerap tumpul.
"Tumpulnya berita yang disajikan ini bisa dikarenakan oleh pengaruh dari pemilik perusahaan pers yang berkoalisi dengan penguasa," imbuhnya. Ia menambahkan, kebebasan pers yang over dosis ini pula tidak terlepas dari undang-undang yang memayunginya, dimana pada saat pembuatan aturan tersebut, Indoensia sedang dilanda mabuk kebebasan pasca rezim Suharto.

Sistem Politik Indonesia


Dinamika partai politik era reformasi
Di era reformasi dimana keran kebebasan kembali dibuka setelah lama dipasung ketika masa Orde Baru berlangsung membuat banyak partai politik menjadi meningkat dalam hal jumlah. Diakui atau tidak dalam era sekarang ini sistem yang menganut jumlah partai yang banyak (multipartai) membuat kinerja negara yang menganut sistem presidensil menjadi tidak efektif. Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan BJ. Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati sampai ke pemerintahan SBY jiilid 1 maupun jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektifitas pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.
Partai baru banyak bermunculan dengan wajah-wajah lama dari era perpolitikan terdahulu atau bahkan merupakan sosok yang “dibuang” dari partai sebelumnya. Dalam hal ini saya mencontohkah Partai Hanura dan Gerindra, dimana partai ini juga termasuk partai baru yang cukup sukses didalam pemilu tahun 2009. Partai politik yang tergolong baru juga tergolong mempunyai kans yang kuat untuk meraih massa dengan pandangan baru yang mengatasnamakan kekecewaan publik terhadap kinerja parta politik yang ada saat ini, karena memang sulit dibantah keadaan partai politik yang ada saat ini semakin membuat publik kurang percaya dengan kredibilitas partai yang ada mengingat banyaknya kasus yang membelit satu per satu partai yang ada saat ini.
Selain itu ada semacam trend fenomena yang terjadi dalam era reformasi sekarang ini dimana banyak kita temukan antara lain :
· Politkus “Bajing Loncat” atau Kutu Loncat. Sering kita temukan beberapa politkus yang pindah-pindah partai menurut selera dan analisis mereka terhadap peluang yang dapat diraih untuk mencapai karier dalam dunia politik. Partai politik berganti-ganti nama. Beberapa partai politik harus mengganti namanya untuk membedakan ketua umum dan partai tersebut dengan rival politiknya dalam partai induk (sebelumnya).
· Partai politik mengusung nilai-nilai keagamaan. Apapun dilakukan untuk menjadi “kendaraan” politik agar tujuan mendominasi kekuasaan mencapai sasaran.
· Politikus yang indisipliner semakin merajalela dan tak terkendali lagi keberaniannya. Mereka kini berani terang-terangan membohongi rakyat yang mempercayainya dan memberi amanah untuk menyampaikan pesan dan aspirasi sebagaimana yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan selama pemilihan menuju karir politiknya.
· Konsentrasi politkus kita kebanyakan mengurusi obyek-obyek yang memberikan pemasukan ketimbang mengutamakan visi dan misi yang  dibebankan kepadanya sebelum  mereka mencapai posisi tersebut. Proses tercetaknya kader secara instan dan sistem rekrutmen calon politikus dan diplomat akhir-akhir ini ditengarai sebagai kontributor utama menghasilkan “rombongan”  politikus bermasalah di negeri ini.
Terjadinya perpindahan kader dari satu partai ke partai lainnya menunjukan pola penerimaaan kader partai di Indonesia masih sangat lemah. Boleh dikatakan bahwa partai belum memiliki sistem penerimaan kader partai yang baik. Pola penerimaan kader yang harus dimulai dari bawah dan dilanjutkan dengan pendidikan kepartaian yang berkesinambungan  sering terabaikan. Pada sisi lain masuknya orang kesatu partai tidak jarang karena ingin mendapat perlindungan baik itu bisnis ataupun jabatan. Akibatnya kader yang masuk dengan murni dan mengawali dari tingkat paling rendah serta memiliki kapabilitas yang tinggi sering terabaikan, karena kesempatan mereka telah direbut oleh kader “kutu loncat”.
Saya harap dengan adanya tahap-tahap konsolidasi sistem politik yang dilakukan sebagai respons atas banyaknya pengalaman pahit selama periode reformasi dan didukung keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan umum dengan sistem suara terbanyak sebagai sistem yang dianggap paling sesuai dengan maksud UUD 1945 mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum. Saya berharap memang benar jika pemilihan dengan sistem suara terbanyak peranan individu wakil rakyat akan berkembang menjadi semakin penting. Sementara itu, peranan partai politik sebagai organisasi dalam penentuan nomor urut menjadi semakin kurang penting, oleh karenanya siapapun yang akan menjadi wakil rakyat diharapkan dapat semakin dekat dengan rakyat dan partai politik juga bisa lebih bergerak kearah yang lebih profesional sesuai dengan fungsinya. Karena dengan paradigma ini akan menimbulkan kesan bahwa menjadi pengurus partai politik tidak lagi menarik, justru lebih penting adalah bagaimana membuat calon wakil rakyat dikenal oleh para calon pemilih sehingga pada saat pemilu nanti, calon wakil rakyat dapat memperoleh kemungkinan yang lebih besar untuk terpilih. Kedepannya partai politik akan lebih terurus dan diurus oleh pengurusnya, bukan saja pada saat menjelang pemilu tetapi sepanjang lima tahun masa kerja pengurus itu harus aktif menjadikan partai politik dekat kepada rakyat.
Analisis partai politik
Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan, argumen seperti ini sudah biasa kita dengar di berbagai media massa ataupun seminar-seminar yang kita ikuti khususnya yang membahas tentang partai politik. Dalam tema kali ini saya ingin menganalisa fenomena partai politik dalam kancah perpolitikan nasional antara yang seharusnya terjadi dan yang senyatanya terjadi.
Menurut Mac Iver, partai politik adalah suatu perkumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan, yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara yang sesuai dengan konstitusi atau UUD agar menjadi penentu cara melakukan pemerintahan. Perkumpulan-perkumpulan itu diadakan karena adanya kepentingan bersama. Oleh karena itu, seringkali suatu perkumpulan atau ikatan diadakan untuk memenuhi atau mengurus kepentingan bersama dalam masyarakat. Selain mempunyai kepentingan bersama, suatu perkumpulan khususnya partai politik, akan muncul karena anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Ada pula Roger F Saltou yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. Mengacu pada dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok orang agar memperoleh kekuasaan untuk menjalankan program yang telah direncanakan.
Sedangkan menurut Miriam Budiardjo partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Aturan yang mendasari orde lama
Aturan yang mendasari orde lma yakni UUD 1945 mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum dan landasan Pancasila pegangan dalam suatu pemilihan yang ada.
UU partai politik 1998
bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah bagian dari hak asasi manusia yang mana bahwa usaha untuk menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran, merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan atas hokum dan sarana yang sangat penting arti, fungsi dan perannya sebagai perwujudan kenierdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatn rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975.tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sudah tidak dapat menampung aspirasi politik yang berkembang sehingga kehidupan demokrasi di Indonesia tidak dapat berlangsung dengan baik; bagi kehidupan partai politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dipandang perlu mengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dengan sebuah Undang-Undang Partai Politik yang baru.

Pemilihan partai politik tahun 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti.
penolakan penanda tanganan KPU, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Pemilihan partai politik tahun 2004,
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pentahapan Pemilu 2004
Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.
Pemilihan partai politik tahun 2009
Untuk pemilihan partai politik sama dengan tahun 2004 yang memiliki tiga tahap pemilihan Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung..
Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden).











Daftar Pustaka
· Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000
· Meny, Yves and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998.
· Jimly Asshiddiqie. Dinamika Partai Politik dan Demokrasi. http://www.ui.ac.id
· http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/6/PARTAI_POLITIK