Rabu, 07 Desember 2011

peran sistem pers


Peranan Pers Untuk Kedepan
Dalam kebebasan pers atau kemerdekaan informasi menurut jalan fikiran Karl Kraus itu tidak boleh dibatasi oleh wilayah kekuasaan Negara. Ia bebas melintasi batas-batas kedaulatan semua Negara (frontier) tanpa hambatan politik, ekonomi, social, budaya dan sistem hukum di masing-masing Negara, khususnya yang mengakui kebijakan imprimatur. Dewasa ini warisan pemikiran Kraus tersebut, seakan-akan terus hidup dan berkembang, kian menjadi wacana demokrasi dan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi. Semua itu sudah menjadi sebuah HAM di seluruh Negara, sehingga dapat menjadi bagian penting dari system hukum, konstitusi dan kehidupan politik dalam masyarakat. 
          

Di Indonesia, misalnya ada pasal 28 UUD 1945 yang telah diamandemenkan sedemikian rupa, sehingga kebebasan informasi dan atau kemerdekaan pers serta kemerdekaan politik untuk mendapatkan kepada sumber-sumber informasi yang diperlukan secara konstitusional sudah terjamin.
Implementasi pasal 28 UUD 1945, mengandung penafsiran bahwa yang diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945 adalah undang-undang yang menetapkan kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Dilain pihak muncul penafsiran yang menyatakan bahwa pasal 28 UUD 1945 itu bukan untuk menetapkan kebebasan pers tetapi justru mengatur peraturan perundang-undangan apa saja yang harus diciptakan dalam rangka mengatur selebar apa ruang lingkup kebebasan pers yang terutama dikehendaki oleh pemerintah. Disamping peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan iplementasi kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan tulisan seperti ditetapkan oleh pasal 28 UUD 1945 yang tertuang juga dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Kode Etik Perusahaan Pers serta Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
Kendati UUD 1945 menjamin adanya kebebasan di Indonesia tidaklah berarti bahwa kebebasan yang dianut itu tanpa batas. Batasan tersebut sekaligus mengatur sejauhmana tanggung jawab pers Indonesia. Kalimat ditetapkan dengan Undang Undang yang tertera dalam pasal 28 UUD 1945 memberi peluang kepada pembuat undang-undang untuk menjadikannya sebagai pembatas kebebasan pers sampai tingkat nadir, seperti yang terjadi pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Sehingga untuk dapat dikategorikan sebagai pers yang sehat, pers di samping bebas harus bertanggung jawab, yakni dapat melaksanakan fungsi :
·          Melakukan kontrol sosial yang konstruktif.
·          Menyalurkan aspirasi masyarakat.
·          Meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, Dewan Pers mengklasifikasikan pers macam apa saja yang dapat dikatakan sehat, adalah:
·          Pers yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan nasional, tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah dan masyarakat.
·          Pers yang jika memuat hal-hal yang negatif tentang masyarakat atau pemerintah, tetap memperhatikan nilai-nilai kepribadian dan kebudayaan seperti menjunjung kesopanan, proporsional dan menggunakan bahasa yang tidak menusuk perasaan.
·          Tidak boleh menghasut, menghina atau menggunakan kata-kata yang mengandung insinuasi, memfitnah, mencemarkan nama pribadi seseorang, mengorbankan sensasi serta mengundang spekulasi.
Jadi yang dimaksud dengan pers yang sehat itu tidak hanya menyangkut masalah manajemen usahanya saja, akan tetapi termasuk aspek keredaksiannya. Sehingga kita harus bisa menilai dan menggunakan paradigma baru, dalam kemasan fikiran baru, supaya kebebasan pers tidak membungkam daya kreatifitas dan suara nuarani rakyat. Sebaliknya, jika kebebasan pers dibungkam serta pemerintah setara masuk dalam lingkungannya, yang secara tegas mengintervensi terhadap pers, niscaya iklim reformasi dalam pers Indonesia harapannya masih jauh untuk membangun citra pers Indonesia baru yang dilandasi kehidupan masyarakat madaniah yang penuh toleran dan selalu seiring sejalan.***
Sebagai Konstitusi tertinggi di negara kita, UUD 1945 memang tidak memuat secara khusus tentang kebebasan pers tetapi hanya mencantumkan tentang kebebasan berpendapat. Namun, penjabaran dari kalimat kebebasan berpendapat itu diatur secara khusus tentang pers dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sejak diundangkannya UU Pers pada tanggal 23 September 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887 dan dinyatakan berlaku, maka sejak itulah UU Pers dikatakan “Lex Specialis.
Untunglah angin reformasi berhembus juga pada kebebasan pers. Kehadiran UU Pers yang “Lex Specialis” mendorong demokratisasi dan penegakkan supremasi hukum. Entah sudah berapa banyak kasus, media dan insan per situ sendiri harus menempuh jalur hukum lewat pengadilan karena penghinaan atau pencemaran nama baik. Seharusnya, lewat UU Pers, kasus-kasus seperti itu harus diselesaikan melalui Dewan Pers bukan jalur pengadilan umum. Dengan menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi, maka “Lex Specialis” UU Pers menunjukkan sebuah proses demokratisasi dan penegakkan hukum, mengingat salah satu fungsi pers adalah fungsi pendidikan.
Lalu, apakah sampai saat ini kebebasan pers di Indonesia benar-benar dilindungi negara? Secara hukum formil, apalah arti sebuah Undang-Undang jika secara materiil penegakkan dan pelaksanaan UU Pers tidak dihormati aparat penegak hukum?
Sampai saat ini, kasus Raymond Horhoruw yang menggugat tujuh media di antaranya Kompas, Sindo, Suara Pembaruan, RCTI, Republika dan Detikcom karena memberitakannya sebagai tersangka perjudian , memperlihatkan lemahnya aparat penegak hukum dalam memilah instrument hukum mana yang harus dipakai. Jika ketujuh media itu dituntut perdata oleh Raymond, dan Kepolisian serta Kejaksaan sampai detik ini tetap memproses perkaranya, maka disinilah kebebasan pers dipertanyakan.
Undang-Undang pers selayaknya dijadikan pijakan dan rekomendasi hukum dalam menyelesaikan sebuah perkara yang berkaitan dengan informasi untuk publik. Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan pencemaran nama baik ataukah penghinaan ,secara yuridis formal sebagai perbuatan kriminal, tidak dapat dikaitkan dengan fungsi dan peranan pers dalam memberikan informasi kepada publik. UU Pers pengatur tentang Dewan Pers, Hak Jawab dan Hak Koreksi. Dalam kasus Raymond, apakah ketiga unsur penting dalam UU Pers ini telah dipakai kepolisian dan kejaksaan?
Albert Camus, seorang novelis pernah mengatakan bahwa kebebasan pers memang dapat baik juga buruk namun jika pers tidak ada dalam sebuah negara, maka itu lebih celaka. Dalam konsep negara modern, pers diletakan pada pilar keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Seharusnya, dalam konsep negara modern pula yang bercita-cita menegakkan negara yang berdemokrasi, kehadiran pers sangat penting dalam menjaga keseimbangan hukum, politik dan hak asasi manusia. Hal ini tentu sejalan dengan enam pokok pikiran pentingnya kemerdekaan pers, bahwa kemerdekaan pers unsur penting dalam negara demokratis, kemerdekaan pers menjamin transpransi, kemerdekaan pers mewujudkan hak asasi manusia, pers harus professional dan terbuka dikontrol masyarakat serta UU Per situ Lex Specialis.
disini pada setelah RUNTUHNYA rezim Suharto membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pekerja pers mulai memiliki akses yang begitu mudah dalam mendapatkan informasi untuk kepentingan publik. Begitu juga perusahaan pers tumbuh subur bagaikan jamur. Sayangnya, kebebasan pers tersebut belum mampu dimaknai dengan benar oleh kalangan tertentu, khususnya pejabat pemerintahan yang menjadi sumber informasi. Imbasnya, tidak sedikit pekerja pers yang menjadi korban. Lalu bagaimana pandangan Yayasan Pantau mengenai kebebasan pers Indonesia? Berikut penjelasan Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR Hamsah Umar
Lebih dari 10 tahun era reformasi,kebebasan pers di Indonesia masih berada pada jalur yang negatif. Kebebasan pers Indonesia dianggap negatif karena hanya sebatas bebas dari kontrol pemerintah. Sementara berita yang disajikan kerap kebablasan dan cenderung tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. Sejatinya pers itu harus mempertimbangkan apakah berita yang dipublikasikan itu berdampak positif atau negatif terhadap kemaslahatan masyarakat luas. Idealnya,wartawan menggunakan hati nuraninya, apakah berita yang ditulisnya itu membawa kebaikan untuk kepentingan publik atau tidak. Dampak buruk pemberitaan media Indonesia terhadap minat investor asing menanamkan modal di Indonesia. Dikatakan,investor asing terlanjur mengecap Indonesia sebagai negara yang tidak aman akibat maraknya pemberitaan kekerasan,kriminalitas maupun pornografi di Indonesia di media elektronik.

 

Foto: Vina Mubtadi/VOA
Peta kebebasan pers negara-negara di dunia. Warna hijau menunjukkan kebebasan pers sepenuhnya, warna kuning menunjukkan pers masih bebas sebagian, termasuk Indonesia, sementara warna merah menunjukkan tidak ada kebebasan pers.
Tingkat kebebasan pers Indonesia belum mengalami kemajuan, demikian menurut data terbaru yang dikeluarkan organisasi Freedom House. Indonesia menempati posisi ke-108 tahun 2010, turun sedikit dari posisi 107 setahun sebelumnya. Ini berarti pers di Indonesia belum bebas sepenuhnya, demikian kesimpulan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Newseum Washington, DC, Senin (2/5).
Para pengunjung museum berita Newseum di Washington DC menyaksikan bahwa dunia telah berubah. Perubahan itu terlihat pada peta kebebasan pers dunia selebar hampir sebelas meter yang dipasang di salah satu galeri tersebut. Peta itu menunjukkan tingkat kebebasan pers - baik media cetak, elektronik maupun internet di hampir 200 negara di dunia.
Negara yang persnya dinyatakan bebas, ditandai dengan warna hijau di peta. Negara yang persnya tidak bebas, diberi warna merah. Dan jika persnya bebas sebagian, negara itu ditandai dengan warna kuning, seperti Indonesia.

Meskipun Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, hal itu tidak tercermin pada kebebasan persnya. Menurut Freedom House, organisasi yang memantau kebebasan aliran berita dan informasi, hal itu tidak mengejutkan.
Karin Deutsch Karlekar, Periset Senior dan Managing Editor, Freedom House menjelaskan, “Kita melihat hal itu di banyak negara dimana tingkat demokrasi lebih baik daripada kebebasan persnya. Karena dalam lingkungan yang lebih demokratis, pers memiliki ruang untuk lebih berekspresi, tapi dalam banyak kasus, pemerintah berupaya menekan pers.”
Menurut Karin, pers di Indonesia dinyatakan bebas sebagian, karena masih ditemukan sejumlah kemunduran.“Di Indonesia, beberapa perkembangan yang mengkhawatirkan adalah penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap wartawan dan penduduk, penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan beberapa pembunuhan terhadap wartawan tahun lalu, suatu peristiwa yang jarang terjadi,” ujar Karin.
Karin menambahkan setiap kasus pencemaran nama baik atau fitnah yang melibatkan wartawan seharusnya diselesaikan lewat Dewan Pers Nasional dan bukannya pengadilan.
Namun, Freedom House juga mencatat sisi positif yang terjadi dalam perkembangan pers di Indonesia, salah satunya adalah media penyiaran yang semakin terbuka.
Karin mengatakan, “Banyak stasiun TV atau radio baru bermunculan di Indonesia. Kami juga melihat semakin banyak penggunaan media sosial dan new media untuk menyebarkan berita dan informasi. Itu adalah tren jangka panjang yang cukup positif.”
Karin juga menyambut baik pernyataan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa awal tahun ini yang meminta kepada semua pihak agar menghormati kebebasan pers.
Berdasarkan data tersebut, tingkat kebebasan pers di Indonesia masih lebih baik dibanding beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara yang tidak bebas seperti Thailand, Singapura, Sri Lanka, Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia.
Secara umum, Freedom House, mengatakan kawasan Asia Pasifik menunjukkan tingkat kebebasan pers yang cukup tinggi. Laporan itu menyebutkan dua pertiga negara dan wilayah di kawasan itu dinyatakan sebagai bebas atau bebas sebagian, sementara sisanya tidak bebas.
Laporan tersebut juga mengecam kemunduran kebebasan pers di Korea Selatan dan Thailand. Sementara, utusan PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue mengatakan, “Korea Selatan diturunkan statusnya oleh Freedom House menjadi bebas sebagian karena internet dibatasi, blogger dikecam. Sementara di Thailand, siapapun yang membicarakan keluarga kerajaan di internet akan menghadapi dakwaan kriminal.”

Dari hampir 200 negara yang dipantau, Freedom House menyimpulkan bahwa 35 persen dinyatakan sebagai bebas, 33 persen bebas sebagian dan 32 persen tidak bebas.
Disini kita juga dapat perhatikan dalam surat kabar REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR--Pakar Komunikasi Politik Nasional, Prof Dr Tjipta Lesmana menilai bahwa kebebasan pers di Indonesia terlalu berlebihan atau "over dosis"
"Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, kebebasan pers di Indonesia lah yang paling besar dan bahkan seolah-olah tidak memiliki batasan," ungkapnya, di Makassar, Rabu.
Bahkan, kata dia, Undang-Undang Pers di Indonesia merupakan aturan pers yang paling bebas di seluruh dunia. Ia mengatakan, kebebasan pers yang dulu diperjuangkan ternyata banyak yang disalahartikan oleh sejumlah wartawan, dan justru membuat polemik di masyarakat.
"Dari sejumlah pengalaman yang saya alami, tidak sedikit komunitas profesi yang menggugat pelaksanaan kebebasan pers, karena kurang mengedepankan tanggung jawab sosial," ungkapnya. Hal ini diperparah dengan sejumlah berita yang dibuat oleh wartawan yang tidak berdasarkan fakta, tidak akurat, tidak berimbang, dan menyerempet prinsip praduga tak bersalah.
Seharusnya, kata dia, kebebasan pers ini juga memiliki batasan seperti di beberapa negara lain, misalnya yang berkaitan dengan keamanan nasional, rahasia negara, moralitas, dan sebagainya. Menurut dia, dalam era demokrasi liberal, pers sering dikatakan sebagai pilar keempat yang memiliki kedudukan yang sama dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Bahkan, kedudukan pers seolah-olah lebih tinggi dibandingkan ketiga lembaga negara tersebut, dimana pers menjadi pengawas atas sepak terjang ketiganya," terangnya. Terkait dengan kebebasan pers di era reformasi, terdapat dua isu besar yang sangat memprihatinkan, yaitu konglomerasi pers yang semakin menggurita dan netralitas pers yang kerap tumpul.
"Tumpulnya berita yang disajikan ini bisa dikarenakan oleh pengaruh dari pemilik perusahaan pers yang berkoalisi dengan penguasa," imbuhnya. Ia menambahkan, kebebasan pers yang over dosis ini pula tidak terlepas dari undang-undang yang memayunginya, dimana pada saat pembuatan aturan tersebut, Indoensia sedang dilanda mabuk kebebasan pasca rezim Suharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar